Counter Powered by  RedCounter

22 November 2009

Kisah Nyata : “Ibadah Lebih Kusenangi Daripada Jabatan”

Saat tulisan ini dibuat, dinegeri kita tengah terjadi perebutan “kursi” dalam bingkai pesta demokrasi. Para “peserta kontes” melakukan apa saja yang sekiranya dapat mewujudkan impiannya. Unjuk diri, obral janji dan pasang tampang menjadi hal yang wajib. Masing-masing menjanjikan bahwa dialah yang paling mampu memimpin bangsa ini. Seakan-akan mereka-mereka lupa bahwa cara yang ditempuh tidak dibenarkan syari’at. Bagi mereka, yang penting bisa menjadi pemimpin dan meraup keuntungan darinya (baca:mengembalikan modal)
Kalau begitu keadaannya, bisakah ia menjadi seorang pemimpin yang berlaku adil dihadapan Allah Azza wa Jalla dan rakyatnya?! Ataukah tujuannya hanya sekadar ingin memperoleh sanjungan dan kehormatan dari manusia? Ada baiknya kita menyimak kisah berikut ini sebagai pelajaran bagi kita semua, terutama bagi para pemburu kekuasaan agar bisa melakukan introspeksi. Mudah-mudahan kita menjadi hamba Allah Azza wa Jalla yang senantiasa taat kepadaNya.Aamiin.
Alkisah
Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan sebuah kisah menarik dari Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bercerita :
Ada seorang lki-laki dari orang-orang sebelum kalian yang hidup sebagai seorang raja. Pada suatu saat terbersit dalam benaknya bahwa semua aktivitas yang kini dia kerjakan akan menghabiskan seluruh waktunya [1] dan hal itu akan menyibukkan dirinya dari beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.
Kemudian pada suatu malam dia bertekad mencari jalan untuk keluar dari dalam istananya [2] (tanpa diketahui oleh siapapun) sehingga pada waktu subuh dia telah berada di sebuah negeri yang dikuasai oleh raja yang lain. Sampailah dia di tepi (pesisir) sebuah pantai yang penduduknya memiliki kebiasaan bekerja sebagai pemerah susu dengan upah yang dapat memenuhi kebutuhannya. Maka dia pun bekerja dengan mengambil upah. Dia memakan sebagian hasil upahnya dan menyedekah sisanya. Dia senantiasa melakukan hal yang demikian hingga sampailah berita tentang keutamaan dan kuatnya ibadahnya kepada raja (penguasa) negeri tersebut.
Lalu sang raja (penguasa setempat) mengutus seorang utusan kepadanya agar dia mau datang menemui raja tersebut. Namun, ia enggan untuk bertemu raja tersebut. Sang raja kembali mengutus utusan untuk memanggil dan terus memanggil agar ia datang kepadanya namun dia tetap menolak panggilan raja seraya berkata: “tidak ada urusan antara aku dan dia.” Hingga akhirnya sang raja pun datang sendiri dengan menaiki tunggangannya yang gagah. Begitu melihat kedatangan raja tersebut ia langsung berpaling dan beranjak pergi. Maka sang raja segera menyusul dan mencari jejaknya namun tidak berhasil mengejarnya.
(Dalam keadaan demikian) sang raja itu memanggilnya: “Wahai hamba Allah, sesungguhnya aku tidak akan membahayakan dirimu.” Akhirnya, setelah dapat bertemu dengannya, sang raja bertanya: “Siapakah engkau? Semoga Allah merahmatimu.” Dia menjawab: “Aku adaah fulan bin fulan, pemilik kerajaan ini dan itu. Aku telah memutuskan perkaraku karena aku berpikir bahwa apa yang aku kerjakan selama (menjadi raja) itu menyita semua waktuku dan menyibukkan diriku dari beribadah kepada Robbku. Karena itu, aku tinggalkan itu semua dan aku datang kesini agar dapat beribadah kepada Allah.”
Sang raja menyahut: “Engkau tidak lebih membutuhkan hal itu daripada aku.” [3] Setelah berkata demikian, dia turun dari kendaraannya dan melepaskan tunggangannya lalu ikut bersama laki-laki itu kemanapun perginya. Kemudian mereka selalu hidup bersama untuk beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan berdoa agar diwafatkan secara bersama. Akhirnya (Allah Azza wa Jalla mengabulkan doa mereka), mereka pun meninggal dunia.
(Usai menceritakan kisah diatas) Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Seandainya aku berada di Rumailah [4] Mesir sungguh aku akan perlihatkan kepada kalian kuburan keduanya dengan sifa yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada kami.”
Kisah diatas diriwayatkan oleh Imam Ahmad: 1/451, Abu Ya’la:9/261, al-Bazzar dalam Musnad-nya: 4/267, dan dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Tahrij Ahadist Shohihah: 6/805)
Ibroh
Kisah diatas adalah sepenggal perjalanan hidup seorang laki-laki sholih dari Bani Israil yang dipilih kaumnya untuk menjadi raja bagi mereka. Hanya, dia merasa khawatir apabila kesibukan dalam mengurus negerinya akan dapat melalaikan dirinya dari beribadah kepada Allah Azza wa Jalla.[5] Maka dengan tekad yang bulat dia memutuskan untuk pergi meninggalkan negerinya menuju bumi Allah Azza wa Jalla yang luas tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya. Dia menjauh dari tugas-tugas kenegaraan agar terhindar dari kesombongan sebagai kepala negara dan dapat beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan leluasa.
Sesungguhnya tekad yang demikian bukanlah perkara yang mudah karena duduk di kursi kekuasaan apalagi sebagai seorang kepala negara, bersanding dengan para pejabat dan orang-orang yang berpangkat lainnya, menjadi pemegang segala putusan hukum, dikagumi dan dihormati manusia merupakan perkara yang sangat dicintai oleh jiwa. Oleh karena itu, sangatlah mustahil bagi seseorang semisal laki-laki tersebut untuk meninggalkan tahta dan kerajaannya kecuali apabila ketulusan hati dan panggilan hati nuraninya lebih besar daripada bisikan-bisikan kemegahan dan kekuasaan.
Sungguh hati laki-lkai tersebut telah dipenuhi rasa takut kepada Allah Azza wa Jalla dan dia sangat khawatir apabila dia terus bertelekan di atas singgasana kekuasaannya akan membuat murka Rabb-Nya. Rasa takut ini menjadikannya merasa mudah untuk meninggalkan itu semua menuju keadaan yang lebih baik.
Sekarang, mari kita bandingkan dengan keadaan para pemburu kursi kekuasaan pada hari ini. Mereka justru rela mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk melicinkan jalan menuju kursi yang dia idamkan, memenuhi hawa nafsu yang tiada akhirnya tersebut!! Wallahul Musta’an. Tidakkah mereka mendengar sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam :
“Barangsiapa yang minta dijadikan pemutus perkara (hakim) dan minta pertolongan atasnya maka akan dibebankan atasnya, dan barangsiapa yang tidak memintanya maka Allah akan mengutus malaikat untuk meneguhkannya.” (HR.Abu Dawud: 9/469)
Mungkin ada yang bertanya, bukankah lebih utama bagi dua orang raja dalam kisah tadi untuk tetap memegang kekuasaannya dan menggunakannya untuk memperbaiki masyarakat, memberantas kemungkaran, serta menebarkan kebaikan di negerinya dan menegakkan syari’at Allah Azza wa Jalla?
Jawabannya : Hal ini berbeda untuk tiap-tiap individu. Sebagian manusia tidak dapat berlaku adil dalam menanggung amanah kepemimpinan. Dia mendapati pada dirinya ketimpangan dalam menjalankan urusannya, bahkan bisa jadi kepemimpinan itu akan menggelincirkan jiwanya ke dalam lembah kenistaan dan perbuatan dosa kepada Allah Azza wa Jalla, atau terkadang dia mampu memegang tampuk kepemimpinan tetapi ia akan di hadapkan dengan penghalang-penghalang yang berbahaya yang dia tidak akan mampu menebusnya. Adapun apabila dia mampu mengatur urusan rakyatnya, mampu tetap kokoh memberantas kemungkaran dan menyebarkan kebaikan, maka yang lebih utama baginya adalah tetap duduk di atas singgasana kekuasaannya. Di samping lebih utama, itu lebih banyak pahalanya daripada memutus diri dari urusan dunia demi beribadah kepada Allah Azza wa Jalla. Balasan sepadan dengan amal perbuatan.
Adapun kedua orang raja dalam kisah tadi termasuk golongan pertama. Mereka merasa dirinya tidak akan mampu memikul amanah kepemimpinan. Sebab itu, hidup jauh dari kehidupan duniawi lebih utama bagi mereka daripada tetap berada di atas kursi kepemimpinan namun di ambang jurang kehancuran. Wallahu A’lam.
Mutiara Kisah
Pada kisah diatas terdapat beberapa faedah yang bisa kita petik :
1. Di antara hamba-hamba Allah Azza wa Jalla ada sebagian manusia yang lebih mendahulukan ibadah dan menghambakan diri kepada Allah Azza wa Jalla daripada kehormatan dan kekuasaan. Mereka adalah orang-orang pilihan yang berbeda dengan kebanyakan umumnya manusia, hingga hal itu menakjubkan manusia di manapun mereka berada.
2. Pada kaum Bani Israil terdapat pada Khulafa’ (pemimpin negara) selain para anbiya’ (para nabi) yang mengurusi urusan mereka.
3. Pada zaman tersebut sudah dikenal beberapa keahlian berupa kerajinan tangan seperti dijumpainya benda-benda industri dan produk olahan seperti barang tambang dan susu.
4. Disyari’atkannya mu’amalah berupa bekerja yang dibayar dengan upah tertentu, dimana mereka bekerja dengan memerah susu yang dengannya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya seperti yang dilakukan oleh seorang raja yang lari dari negerinya tersebut. Wallahu A’lam.

Kisah Bertaubatnya Seorang Pemimpin Komunis

LEON TROTSKY

Leon Trotsky adalah salah seorang yang paling terkenal di antara sejawatnya di partai komunis, salah seorang pemikir terbesar dikalangan mereka, dan termasuk orang kedua setelah Lenin. Ia pernah memegang urusan luar negeri setelah terjdinya pemberontakan, bahkan semua permasalahan yang berkaitan dengan peperangan diserahkan kepadanya. Ia seorang Yahudi tulen, nama aslinya adalah Brustalin, Lahir pada Tahun 1879 M, dan diasingkan dari negerinya pada tahun 1940 M.
Namanya sangat terkenal, demikian juga banyak sekali orang yang menulis biografinya, namun-sangat disayangkan sekali- sedikit sekali orang yang menceritakan tentang keislamannya. Disebutkan dalam sebuah majalah Islam yang bernama al-Hidayah, edisi ke-7 jilid I, sebagai berikut: “Trotsky memeluk Islam ditengah-tengah lingkungan yang tidak mengenal Islam.”
Dibawah judul tersebut disebutkan :
Surat kabar yang telah menceritakan tentang masuknya Trotsky ke dalam agama Islam, yakni ketika ia diasingkan ke Turki. Disebutkan kisah tentang keislamannya bahwasanya ketika mengidap suatu penyakit di Astanah, ia memanggil mufti Astanah untuk menjenguknya dan mufti itupun memenuhi undangan tersebut. Pada waktu itu, pertemuan mereka disaksikan oleh reporter Koran “Waqtut Turkiyah”. Dalam perbincangannya, Trotsky berkata : “Dahulu aku adalah seorang penganut Yahudi, hanya saja landasan agamaku tidak sesuai dengan beberapa rabbi (pendeta Yahudi) sehingga mereka mengharamkan dari agama yang aku anut. Namun, semua itu tidak terlalu aku perhatikan. Sebab, landasan agama bangsa Israil tidak bisa membuat aku berkembang sehingga aku pun tidak memprotes ataupun merasa keberatan.”
Adapun sekarang ini-sementara usiaku terus bertambah,sebagaimana orang-orang lain- aku sangat membutuhkan keyakinan dan agama samawi yang benar. Oleh karena itu, pernah suatu hari aku berpikir untuk memeluk agama Nasrani, namun aku mengurungkan niat itu karena kebencianku untuk memeluk agama kekaisaran yang sewenang-wenang dan tindakan para rahib (pastor) yang jahat. Akhirnya, dihadapanku tidak ada pilihan lain selain agama Islam, yang telah kuteliti dengan seksama dan aku mendapatkan berbagai keutamaan yang mulia di dalamnya.
Di antara keutamaan yang aku dapatkan adalah Islam menganjurkan pemeluknya untuk berdiskusi dan melakukan penelitian terhadap pokok-pokok yang melandasi agama ini. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk memeluk agama ini, lalu mufti yang terhormat akan makan malam bersamaku, kemudia beliau akan mengajarkan syari’at-syari’at Islam secara menyeluruh.” [1]
Setelah memaparkan berita tersebut, Syaikh Muhammad al-Khadr Husain mengomentari berita tersebut, beliau berkata : “Trotsky telah menceritakan kepada kita bahwa ia memeluk agama Islam setelah melakukan penelitian secara seksama terhadap hakikat syari’atnya yang indah.”
Barang siapa yang memperhatikan bahwasanya Trotsky yang hidup dan tumbuh ditengah-tengah lingkungan yang sama sekali tidak Islami, didoktrin dengan keyakinan berlandaskan asas yang tidak sesuai dengan tabiat agama yang lurus, dan tinggal dikalangan orang-orang yang menentang Islam maka dapat dipastikan bahwa orang sepertinya tidak mungkin masuk Islam kecuali atas dasar atau hujjah yang jelas.
Bukanlah suatu hal yang aneh bila Trotsky memeluk agama Islam. Sementara di pihak lain, sekelompok orang tertentu yang sudah bertahun-tahun memeluk agama Islam malah berpaling dari agama yang dianutnya. Sekelompok orang yang berpaling tersebut belum memperhatikan hakikat Islam yang sebenarnya, sebagaimana seorang petualang yang mencari kebenaran hakiki. Semua ajaran Islam hanyalah bagaikan gambar-gambar yang tertempel oada hati mereka, tanpa mereka mengenali rahasia-rahasia yang ada dibaliknya. Sebenarnya mereka yang menjauh dari Islam, bukanlah disebabkan karena tidak mengetahui sama sekali tentang agama tersebut.
Satu keinginan kita yang terpenting yaitu memperbaiki cara dan metode pembelajaran dan pengajaran Islam yang benar, dengan demikian, hal itu akan memudahkan setiap orang yang sedang mempelajari hakikat ajaran Islam untuk sampai pada inti syari’at itu dan menembus hikmahnya yang agung.
Seandainya orang-orang yang bertanggung jawab dalam urusan agama berusaha keras dengan memaparkan hujjah yang jelas dan penjelasan tentang hikmah maka tentulah orang yang memeluk agama Islam seperti Trotsky akan bertambah banyak.”[2]
Wallahu A’lam.

19 November 2009

5 Kesempatan Sebelum 5 Kesempitan

Oleh : Ustadz Abu Abdirrahman

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda kepada seseorang ketika menasihatinya: “Manfaatkanlah lima kesempatan sebelum datangnya lima (kesempitan): 1) masa mudamu sebelum masa pikun dan tua rentamu, 2) masa sehatmu sebelum waktu sakitmu, 3) kecukupanmu sebelum kefakiranmu, 4) waktu luangmu sebelum waktu sibukmu, dan 5) masa hidupmu sebelum kematianmu.”[1]

Kesempatan adalah nikmat yang Allah Azza wa Jalla karuniakan kepada setia hamba-Nya, namun kebanyakan manusia terlena dengan kenikmatan di dunia ini hingga lalai bahwa kesempatan itu tidaklah akan abadi, melainkan pasti akan ada akhirnya.

Nikmat Adalah Ujian

Nikmat adalah ujian bagi manusia, apakah ia mempergunakannya dengan sebaik-baiknya ataukah sebaliknya menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan kepadanya. Kebanyakan manusia tertipu dengan nikmat yang dikaruniakan kepadanya, lupa bahwa nikmat adalah untuk disyukuri, bukan dikufuri; dimanfaatkan untuk kebaikan dan takwa, bukan untuk dosa dan maksiat.

Allah Azza wa Jalla memberikan karunia dan nikmat untuk sebuah ujian dalam kehidupan dunia ini. Allah Azza wa Jalla telah menunjukkan kepada manusia sebuah jalan yang harus dilalui. Ada yang mau bersyukur dan menjalankan ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, namun banyak yang kufur terhadap nikmat yang diberikan kepadanya, mempergunakannya untuk berbuat dosa dan maksiat, melanggar perintah dan larangan-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan). Karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS.al-Insan [76]: 2-3)